Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin

Hilang, Tersapu di Banda Aceh

Teriakan suara dan hentakan kaki yang terdengar sangat bersemangat dibuat oleh anak-anak yang berlarian menuju taman. Ternyata, mereka sudah sedari tadi menunggu kedatangan perempuan dengan perawakan tubuh ideal yang memakai baju dengan perpaduan warna biru putih dan lilitan hijab di lehernya.

“Akakkkkk!” Teriakan dari salah satu anak laki-laki dengan logat Acehnya yang melekat dan berlari langsung memeluknya. 

“Kak Ahya dari mana saja? Kita sudah menunggu akak dari tadi.” Lanjutnya, dan pertanyaan beruntun yang keluar dari mulut anak-anak lain yang tiada bukan karena rasa rindu mereka kepada perempuan berdarah campuran Aceh-Jawa itu. 

Kerinduan anak-anak itu dibalas Ahya dengan senyuman yang sudah merekah dan tangan terbuka siap menerima pelukan dari anak-anak. Hampir saja ia jatuh karena kewalahan menahan pelukan dari anak-anak yang saling mendesak ingin menyalurkan rasa rindu kepada akaknya yang sudah lama tidak mereka lihat. Mendengar banyak pertanyaan yang hampir sebagian besar sama, Ahya yang tidak kuat lagi menahannya hingga tidak sadari air mata jatuh di pipinya yang masih melekuk membentuk bulan sabit, karena senyum bahagianya, suasana menjadi haru, mungkin waktu sudah berlalu lima menit untuk mereka habiskan dengan saling menyalurkan rasa rindu yang menumpuk, berpelukan. 

Kedatangan Ahya menjadi hal yang selalu ditunggu-tunggu oleh mereka, karena sudah satu bulan Ahya tidak datang ke tempat taman bermain. Taman yang berlokasi di pesisir pantai Lampuuk, tempat di mana Ahya menghabiskan banyak waktunya di sana, yang sekaligus menjadi sumber ilmu bagi mereka, anak-anak Desa Meunasah Masjid. 

Perempuan yang memiliki darah campuran Aceh-Jawa, berumur 18 tahun dengan ciri khasnya dalam berpenampilan yang selalu menggunakan jilbab pashmina. Memiliki cita-cita yang tidak biasa, bahkan banyak dari teman-temannya mengatakan bahwa mimpinya ‘aneh’. Tapi sungguh, mimpinya sangat mulia. Mungkin, tidak banyak orang yang menggantungkan cita-citanya untuk menjadi seseorang yang dengan sukarela memberi bantuan kepada yang membutuhkan, entah itu dalam bentuk materi maupun material. Perempuan yang baru saja menyelesaikan pendidikannya di jenjang SMA, dibuat bimbang akan bagaimana ia ke depannya, apakah ia bisa menggapai mimpinya atau ia akan tidur sejenak memimpikan hal lain untuk diwujudkan. Cut Ahya Denali.

Satu bulan lebih Ahya habiskan waktunya di Jawa. Tepatnya, di tempat yang disematkan dengan julukan Kota Perjuangan. Kota kelahiran bundanya, wangi kota setelah disiram hujan sore itu membuat Ahya mengingat akan suasana saat ia masih berumur 14 tahun. Berkeliling di Malioboro, merengek ingin dibelikan bakpia hingga menangis karena ketakutan saat melihat kuda yang sedang menarik delman, ingatan yang sudah lama ia lupakan itu kembali teringat lagi. Tapi bukan itu tujuan datangnya Ahya ke Daerah Istimewa Yogyakarta. Mendaftar untuk menjadi bagian mahasiswi di universitas ternama, Universitas Gadjah Mada, itulah tujuannya.

***

“Bagaimana kabarmu Ahya? Sudah lama aku tidak melihatmu, boleh lah kamu ceritakan keseruan mu di Jawa selama satu bulan itu” Dengan suara berat yang sedikit medok, laki-laki dengan tinggi mungkin sekitar 172 cm yang datang dari belakang Ahya bertanya dan menepuk pundaknya yang ia anggap sebagai sapaan. Sontak kaget mendapat sapaan seperti itu, Ahya tersentak dan langsung membalikkan badannya mencari sumber suara itu, melihat di depannya sudah berdiri sosok laki-laki yang mengenakan hoodie putih, dia tersenyum.

“Eh.. Haii! Assalamualaikum, minimal salamlah ya” jawab Ahya dengan nada yang terdengar sedikit tertawa.

Waalaikumsalam, hehe iya maaf” balasnya dengan senyuman yang diikuti suara tawa.

Alhamdulillah aku kabar baik, kamu bagaimana? Hmm, ya begitu deh kurang sesuai sama rencanaku dan mungkin belum rezekinya aku? Jadi ya begitu, makanya aku sedikit lama di sana, takut pulang dan membayangkan reaksi ayah” Jelas Ahya dengan suara menahan tangis.

Setelah Ahya mendapat hasil UTBK, memang ia berniat untuk memberi tahu Ganendra, apapun hasilnya. Namun, ia menunggu sehari setelah itu untuk memberitahu Endra, panggilan untuk Ganendra. Di tengah berantakan pikirannya, ia harus memikirkan bagaimana reaksi orang tuanya yang tahu bahwa dirinya tidak lolos untuk mendapat gelar S.Ked. di UGM. Itulah alasan mengapa Ahya memilih untuk menghabiskan waktu sebulannya di Daerah Istimewa Yogyakarta, juga karna saran Endra yang memintanya untuk menenangkan pikirannya di Kota Perjuangan.  

“Tidak apa, memang benar yang kamu bilang, itu belum rezekimu. Dan itu baru awal dari perjuangan mu, bukan akhir. Yakinlah rencana Tuhan adalah yang terbaik”.

Endra, panggilan dari nama lengkap Ganendra Pranaja. Merantau jauh dari daerah asalnya, untuk menjadi relawan di Aceh. Dan sudah hampir sekitar satu tahun ia meninggalkan kota kelahirannya, Jogja. Mengabdi untuk Tami, Taman Ilmu. Tempat yang ia buat untuk menjadi sumber ilmu bagi anak-anak daerah pesisir pantai yang kurang akan asupan pendidikannya, keterbatasan ekonomi menjadi alasan anak-anak tersebut untuk tidak bersekolah dan tempat itulah yang menjadi awal bertemunya dengan Ahya. Dengan rasa empati yang tinggi, ia mendirikan Tami dengan rekan-rekannya yang berada di Aceh. Dan tempat inilah yang menumbuhkan rasa semangat Ahya untuk menggapai cita-citanya. Menjadi relawan.

***

Ruang keluarga, menjadi tempat kembalinya Ahya berkumpul dengan ayah bundanya, sama seperti saat awal ia akan berangkat ke Kota Istimewa. Sunyi, belum ada yang memulai percakapan malam itu, hanya terdengar suara jarum jam yang terus berputar.

“Ayah, Bunda, Ahya minta maaf…“ Ahya membuka suara lirih, menunduk seakan ia tidak ingin menangis di hadapan orang tuanya.

Mendengar suara Ahya, bunda beranjak dari duduknya dan menghampiri Ahya. Saat bunda memeluknya, tangis Ahya pecah, ia tidak kuat lagi untuk menahan tangisnya dan langsung membalas pelukannya. 

“Sudah, tidak apa Nak, Bunda yakin kamu sudah berusaha semaksimal mungkin, dan ini mungkin memang bukan jalanmu. Masih banyak jalan lain yang Allah sudah siapkan untukmu” Kata penenang itu keluar dari mulut bunda sembari tangannya yang terus mengusap punggung Ahya.

Setelah beberapa menit ruangan di isi dengan isakan Ahya, Ayah bersuara. “Berhentilah pergi ke taman itu”. Suara ayah dengan nada datar menghentikan isakan Ahya.

“Tapi Yah..” 

“Tidak ada kata tapi! Kamu harus lebih fokus mengejar mimpimu!”. Potong ayah dengan suara sedikit tinggi dan berdiri meninggalkan ruang tamu.

Dengan mata yang masih berlinang, Ahya menatap bunda dan berkata “Bun, Ahya gak mau berhenti jadi relawan” 

“Ayah bilang aku harus fokus mengejar mimpiku? Kenapa ayah melarangku pergi ke taman itu?” Lanjut Ahya dengan suara lemasnya.

“Nak, Ayah hanya ingin kamu bahagia, dan jika memang kamu tidak mau berhenti menjadi relawan. Berjanjilah, kamu mau berjuang sekali lagi untuk mewujudkan keinginan Ayahmu” Peluk hangat bunda menenangkan Ahya sejenak. Dengan tatapan yang penuh harapan, seakan ingin mendengar lanjutan dari perkataan bunda. 

“Bunda yang akan bilang ke Ayah, kamu berjuanglah, dan ingat, Bunda akan selalu ada untukmu” Ucap bunda dengan senyum penuh kasih sayang.

***

Satu minggu setelah itu, di pagi hari, pukul 05.05 WIB. 

Tanpa sepengetahuan ayah, Ahya pamit pergi ke Tami kepada bundanya.

“Bun, Ahya pamit pergi ke Tami ya, mungkin Ahya akan pulang lebih sore, karena ada janji dengan Endra untuk mengajak anak-anak ke bazar buku yang tempatnya lumayan jauh dari Tami” Pamit Ahya kepada bunda.

Belum sempat bunda membalas, “Assalamualaikum!” Ucap Endra setelah menutup pintu mobilnya dan menghampiri Ahya dan bundanya.

“Waalaikumsalam, eh nak Endra, pagi sekali datangnya” Bunda tersenyum dengan membalas tangan dengan Endra. “Hehe, iya tante, mau jemput Ahya, sekalian izin mau pinjam Ahyanya lama” 

“Iya nak, tante titip Ahya ya, hati-hati di jalan” Balasnya sembari mengusap kepala Ahya.

Setelah menyalami Ahya dan Endra, bunda melihat mereka masuk mobil dengan melambaikan tangan sebagai isyarat pamit pergi.

***

Perjalanan panjang mereka sudah menghabiskan waktu satu jam dengan bincang-bincang ringan dan hingga akhirnya mereka terdiam cukup lama, sekitar 15 menit.

“Gimana kemarin?” Endra memulai percakapan di keheningan itu.

“Yang kemarin? ayah masih kekeh memintaku untuk menjadi dokter, bahkan melarangku kembali ke Tami, tapi untungnya bunda mengizinkanku dengan syarat aku mau berusaha lagi untuk menjadi dokter” Jawab Ahya yang sedari tadi membenarkan style pashmina-nya.

“Pikirku kamu yang akan menggantikanku”, “menjadi penerus Tami” Lanjutnya.

Ahya menatap Endra, mencerna apa maksud kalimatnya. “Maksudmu?” Kalimat penasarannya.

“Ada dua hal yang ingin aku beritahu kepadamu, salah satunya mungkin kebohongan?” Ucap Endra sambil terkekeh. Dengan raut wajahnya yang masih bingung, Ahya terus menatap Endra seakan meminta penjelasan.

“Jadi, sebenarnya aku bohong tentang alasanku menjadi relawan di sini semata karena keinginanku dan bosan di Jogja, ingin mencari suasana baru” 

“Tahun lalu, waktu aku lulus kuliah dan berniat buat lanjutin S2, niatku terkurung karena ayahku kurang percaya kalau aku mampu buat lanjutin. Jadi, ayah memintaku mengabdi menjadi relawan di Aceh, dan alasan kenapa di Aceh, karena ada teman Ayah di sini” Mungkin kamu sekarang paham kenapa aku bangun komunitas Tami, taman ilmu. Itu jadi bukti kalo aku siap buat melanjutkan S2, dan ya dengan Tami aku bisa buat ayahku percaya. Rencananya, sebentar lagi aku akan pulang ke Jogja, tadinya si aku mau menitipkan Tami ke kamu, tapi gak jadi deh, kamu harus fokus dengan tujuanmu, dan Tami sudah kutitipkan ke Kak Kanen” Jelas Endra panjang lebar.

Kini pandangan Ahya beralih ke depan, memperhatikan jalan yang dilaluinya. “Ternyata mendapat restu orang tua susah ya, kukira cuma aku yang susah buat dapat restu dari Ayah” 

Endra tidak membalas ucapannya, ia hanya mengangguk dan memperhatikan Ahya yang sedang fokus melihat jalanan.

“AWAS ADA KUCING!!” teriak Ahya melihat kucing yang berlari hampir tertabrak mobil. Mendengar teriakan Ahya, Endra spontan menginjak rem mobilnya, mobil itu berhenti. Mereka mengatur nafas, Ahya menunduk, mengangkat kembali kepalanya dan berkata “Kok perasaanku ga enak ya?” 

“Maaf, maaf, maaf ya, aku kurang fokus. Gak apa-apa, mungkin perasaan ga enak itu karena anak-anak sudah menunggumu di sana” Ucap Endra dengan senyuman menenangkan Ahya.

Pukul 05.52 ditunjukkan ponsel milik Endra yang menyala karena mendapat telepon, tertulis ‘Kak Kanen’.

“Waalaikumsalam, iya ini sebentar lagi sampai, mungkin sekitar 10 menit lagi?” Jawab Endra yang sekilas melirik Ahya di sampingnya. “Iya bareng Ahya kok, … iyaaa, matikan ya teleponnya, assalamualaikum” Lanjut Endra menutup perbincangan dengan kak Kanen.

“Bener kan, kamu sudah ditunggu sama anak-anak” Endra terkekeh dan menyalakan mesin mobilnya, menuju tempat bazar.

Seolah senang mendengar itu, Ahya tersenyum “Ya sudah ayo ke sana”. Dan dibalas anggukan oleh Endra. Mereka melanjutkan perjalanannya menuju tempat bazar buku, yang di mana ternyata anak-anak sudah sampai lebih dahulu. 

Endra memang sengaja meminta Kak Kanen untuk mengantar anak-anak dan mereka ternyata tiba lebih dahulu, selain karena bagian belakang mobil Endra dipenuhi barang keperluan dan snack anak-anak, mencuri kesempatan untuk bisa mengobrol berdua dengan Ahya menjadi alasan utamanya. 

***

Benar dugaan Endra. Ketika mereka sampai, mereka langsung diserbu anak-anak, ada yang langsung bercerita kesenangannya karena menemukan buku yang sangat ia suka dan ada juga yang memperkenalkan teman barunya. 

Dua jam mereka lalui dengan canda dan tawa, ternyata di sana tidak hanya ada bazar buku, tetapi banyak kegiatan lainnya, seperti games, kuis, dan tentu banyak hadiahnya. Dan terkejutnya Ahya, ternyata itu adalah acara yang diselenggarakan oleh para ketua komunitas relawan di Aceh, salah satunya Endra.

Canda tawa dan senyuman dari anak-anak yang mungkin bisa dibilang beda dengan anak-anak pada umumnya, kebutuhan pendidikan mereka yang sudah terpenuhi, bahkan untuk berpakaian saja mereka mengenakan baju seadanya. Seketika melenyapkan pikiran yang mengganggu Ahya, ia lupa akan berantakan pikirannya tentang masalah dengan ayahnya. 

Hanya selang beberapa menit, suara tawa anak-anak berubah menjadi teriakan ketakutan. Tanah yang mereka pijak bergerak, barang-barang yang berada di tempat atas berjatuhan, semua orang di sana panik, berteriak menyebut nama Tuhannya dan saling berpelukan menenangkan sesama. Banyak juga dari mereka yang menangis, berdoa dengan keras meminta keselamatan.

Sementara jauh di sana, guncangan tanah yang telah dirasakan selama 10 menit membuat ayah khawatir dengan Ahya, pikiran ayah hanya tertuju kepada anak semata wayangnya. Ayah segera pergi ke Tami, berharap Ahya baik-baik saja. Tapi yang terlihat, keadaan tempatnya buruk, tidak sedikit juga bangunan yang telah berubah menjadi puing-puing. 

Gempa bumi, yang mungkin bisa membuat anak-anak kecil bahkan orang dewasa trauma. Lima menit kemudian, dengan perasaan panik dan takut, Ahya teringat orang tuanya di sana. Dengan cepat ia mencari ponsel di tasnya dan langsung mencari nama orang tuanya untuk melakukan panggilan telepon. 

Ayah, menjadi orang pertama yang akan Ahya hubungi, 10 panggilan tak terjawab dan enam pesan singkat yang Ahya tinggalkan tidak mendapat balasan, begitu pula dengan bundanya, tidak ada balasan. Air matanya jatuh, hatinya berdetak kencang, takut akan hal buruk yang ia bayangkan terjadi, bagaimana tidak, memang jarak rumah Ahya sedikit jauh dari pesisir pantai, tapi dengan besarnya gempa tadi ia menjadi sangat khawatir. Notifikasi berita bermunculan di ponsel Ahya, ia yang mengira bahwa itu adalah balasan dari orang tuanya, ternyata bukan. Itu berita buruk,

	Berita duka, pagi tadi pada pukul 07.59 WIB, terasa gempa dengan 9,3 SR. Gempa dirasakan selama 10 menit yang berpusat di Samudra Hindia pada kedalaman sekitar 10 kilometer di dasar laut. Tsunami dirasakan oleh… 

Itulah info yang Ahya dapat dari ponselnya, belum sampai dibaca sepenuhnya, tangis Ahya pecah, ia lemas.

Endra yang lebih dulu mengetahui kabar tsunami itu daripada Ahya, beranjak dari duduknya dan mencari Ahya. Benar saja, saat Endra menemukan Ahya, dia melihat Ahya sedang menangis, Endra lantas berlari menghampiri dan memeluknya. Menyalurkan energinya untuk sedikit menenangkan Ahya.

Bohong jika Ahya tidak butuh penenang, ia membalas pelukan Endra. Di dekapan Endra, Ahya merasakan hal yang aneh, dengan suara tangisnya dan kata yang terbata-bata, Ahya mengatakan “Aku mau pulang”.

Butuh waktu lebih lama dari perjalanan awal untuk kembali ke rumah Ahya. Ramai kendaraan yang searah dengan mobil Endra mengakibatkan macet. 

Terjangan gelombang tsunami yang meluluhlantakkan sebagian wilayah pesisir Aceh, terjadi hanya dalam waktu 30 menit, dengan ketinggian hingga 30 meter. Diperkirakan, lebih dari 100 ribu orang meninggal dunia dalam bencana tersebut. Berikut…

Informasi terkini yang diberi tahu oleh penyiar radio, air mata Ahya terus berjatuhan, yang dipikirkan Ahya sekarang adalah, semoga Allah menyelamatkan ayah bundanya. Ditambah lagi jalanan yang dipenuhi oleh puing-puing bangunan runtuh, orang-orang yang menangisi keadaan, dan pemandangan buruk lainnya.

***

Setelah menempuh perjalanan yang lama, mereka sampai. Mereka berhenti di pos pengungsian, karena tsunami baru saja terjadi dan akses menuju pesisir di tutup. Ahya berlari mencari orang tuanya dan bertanya ke semua orang yang ia temui di sana. Hingga akhirnya, ia menemukan bunda, sedang duduk dan memeluk wanita di sebelahnya, entah siapa itu. Namun, setelah Ahya memanggil bundanya, pelukan itu beralih ke Ahya. 

“Bunda, ayah di mana? Kenapa bunda sendirian?” Pertanyaan Ahya dengan suaranya yang bergetar.

“Ayah…” “Ayah pergi ke Tami, dan sekarang, ayah sudah tidak ada nak…” Jawab bunda berusaha tegar dan mempererat pelukannya. Ahya terdiam sebentar, menguatkan hatinya jika memang itu kenyataannya.

Nggak.. Nggak mungkin… Ayah masih ada Bun, Ayah cuma belum ditemukan atau Ayah lagi membantu korban lain, nggak mungkin Ayah ninggalin kita…” Bantah Ahya tak percaya apa yang diucapkan oleh bundanya.

“Ayah masih ada…, Ayah nggak pergi bun, Ayah masih ada”. Ucap Ahya berkali-kali meyakinkan diri, ia terus memukul dadanya, berharap rasa sakitnya bisa tergantikan. Tubuh Ahya bergetar, suhu tubuhnya mendadak naik, satu menit kemudian, ia pingsan, tak kuat menerima kenyataan. 

***

Dua bulan telah berlalu, puing-puing karena bencana alam itu belum sepenuhnya hilang, apalagi luka dan trauma para korban, salah satunya Ahya. Dan setelah dua bulan itulah Ahya bisa menerima kenyataan. Bisa dibilang, setelah terjadi bencana, sifat Ahya sedikit berubah. Bukan hal buruk, melainkan rasa semangatnya yang bersungguh-sungguh untuk mengejar mimpinya. Ya, ternyata yang terjadi adalah ia tidur sejenak dan memimpikan hal lain untuk diwujudkan. Mengabdi kepada masyarakat, dengan gelar sarjana dokter yang ia dapat dari UGM. “Tuhan, mimpiku hilang, tersapu di banda Aceh”. Gumam Ahya ikhlas, karena memang tidak sepenuhnya mimpinya hilang.

Bulan lalu, setelah pemakaman jasad ayahnya. Di rumah Ahya, Endra menghampiri perempuan dengan hijab pashmina-nya yang sedang melihat album keluarganya, memberi kalimat penyemangat dan bercerita tentang ayah Ahya, yang ternyata adalah teman dekat ayah Endra.

“Ayahmu sangat menyayangimu Ahya” Endra memulainya. “Boleh aku bercerita?” Lanjutnya meyakinkan apakah Ahya akan kuat mendengar cerita yang berkaitan dengan ayahnya. 

Tak ada balasan suara, hanya anggukan dari Ahya. Setelah yakin, Endra mulai bercerita tentang ayah Ahya.

“Mungkin selama ini kamu mengira ayahmu tidak mendukung cita-citamu menjadi relawan. Tapi tidak benar sepenuhnya, seperti yang kukatakan, beliau sangat menyayangimu. Beliau juga mendukungmu untuk menjadi relawan, tapi dengan gelar. Dan tanpa sepengetahuanmu, beliau sangat sering datang ke Tami, sering juga ikut membantu, namun beliau selalu berkata untuk tidak memberitahumu” Ceritanya sambil menatap Ahya yang masih melihat foto di albumnya, ayahnya.

“Apa kamu tahu? Saat aku mengatakan bahwa kamu akan berjuang lagi untuk berkuliah di Jogja, beliau sangat senang hingga air matanya berlinang. Beliau juga berniat akan mengantarkanmu saat pergi ke Jogja dan menitipkanmu kepadaku saat kamu sudah menjadi mahasiswa di sana”.

Seolah tak percaya, Ahya menangis menyesal, ternyata memang ayahnya sangat menyayanginya. Yang ia pikir selama ini adalah keegoisan dan sikap acuh ayah terhadap keinginan Ahya, karena yang Ahya tahu, ayah memintanya untuk menjadi dokter karena pelampiasan kegagalan ayah menjadi dokter saat dulu. Tapi sekarang, ia sadar bahwa alasan ayah memintanya menjadi dokter, karena sangat mendukung ia menjadi relawan, tapi dengan gelar sarjana dokter. 

Kesadaran Ahya terpupuk kembali saat ia menjadi relawan menolong korban tsunami lainnya, ia bingung karena tak tahu bagaimana seharusnya ia mengobati korban yang terluka, berbeda dengan Endra yang seakan tahu segalanya dan bisa diandalkan. Benar kata ayah, menjadi relawan bisa siapa saja, tapi menjadi relawan dengan gelar tidak semuanya bisa ataupun mau.

“Bunda, Ahya besok mau mencoba lagi”. “Bunda akan mengantarkan mu nak, 

Dengan semangat baru, Ahya mempersiapkan satu tahunnya untuk mendaftar lagi menjadi mahasiswa di UGM. Tentu dengan bantuan dari Endra, ia terbang pergi ke Jogja dengan bunda dan Endra. 

Bahagiannya, usaha yang tidak mengkhianati hasil, Ahya lolos UTBK satu tahun setelah kegagalannya yang dulu. Terkejutnya, Ahya baru mengetahui ternyata gelar sarjana telah tersemat di nama Endra, Ganendra Pranaja S.Ked. Seperti ayah, bunda telah mempercayai Endra dan menitipkan Ahya saat ia di Jogja, bunda pulang ke Aceh. Dan bulan-bulan ke depan akan Ahya lalui bersama Endra, Ahya yang mengejar gelar S.Ked. dan Endra yang mengejar gelar M.Ked.

“Ayah, aku berhasil. Belum, tapi sebentar lagi”. Batin Ahya dengan tersenyum memeluk foto ayahnya.